Pages

>>Surat Terbuka Nurmillaty Abadiah ke Pak Menteri Pendidikan Tentang UNAS

>>Surat Terbuka Nurmillaty Abadiah ke Pak Menteri Pendidikan Tentang UNAS

Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pi...

0 Comments
VANIA LARISSA

VANIA LARISSA

contestants Vania Larissa Kalimantan Barat 17 Tahun

0 Comments
MISS INDONESIA 2013 KALIMANTAN BARAT

MISS INDONESIA 2013 KALIMANTAN BARAT

Kalah atau Menang, Vania Larissa Bakal Lakukan Ini 19 Februari 2013   19:25 WIB • Ainun Fika Muftiarini - Okezone ...

0 Comments
kutipan surat cinta pak habibie untuk ibunda ainun

kutipan surat cinta pak habibie untuk ibunda ainun

      Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu.  Bukan itu ... Karena aku tahu bahwa semua yg ada pasti menjadi tiada pada ...

0 Comments
selamat hari ibu

selamat hari ibu

i love you so much MOM.. you're my everything :* dede sayaaaang Mama' 22 Desember 2012

0 Comments
ta'aruf

ta'aruf

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan laki – laki dan perempuan serta menjadikan rasa kasih dan sayang di antara keduanya d...

0 Comments

lukisan-MU

Bila kerikil pantai, telah berubah menjadi permata. . Mungkin lautan tak lagi bimbang,bahkan teriak mesra.. menerawang jauh d atas derma...

0 Comments

Kamis, 22 Mei 2014

>>Surat Terbuka Nurmillaty Abadiah ke Pak Menteri Pendidikan Tentang UNAS

Diposting oleh yayan nurlian di 19.09 0 komentar


Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tidak perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin penting...
Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator 'menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan dan hewan'?
Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tidak akan pernah bertanya, 'tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?' melainkan akan langsung bertanya, 'nilai UNASmu berapa?'.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, 'kan? Untuk menetapkan sebuah garis yang akan jadi acuan bersama, 'kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya tahu Bapak sudah mengklarifikasinya di twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris di bagian kata 'sedikit' ini). Tapi, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot soal kami dinaikkan hanya sampai standard Internasional. Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di sekolah saya disiapkan tabung oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah khawatir kami pingsan saking bahagianya menemui soal-soal itu, 'kan?
Bapak, saya tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti... apa yang ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, 'tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yang baru'. Tapi, Pak, sekali ini saja... sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.
Kalau Bapak masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dengan dua soal itu selama sepuluh menit. Ya... beliau bilang ada yang salah dengan kedua soal itu. Tetapi yang ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran...
Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya saja belum tentu bisa menjawabnya?
Tidak diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?
Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?
Lupakah Bapak bahwa nanti yang akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?
Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dengan fasilitas pengajaran yang layak saja sudah sujud syukur?
Etiskah menuntut sebelum memberi?
Etiskah memberi kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?
Pada bagian ini, Bapak mungkin akan teringat dengan berita, 'Pelajar Mengatakan bahwa UNAS Menyenangkan'. Kemudian Bapak akan merasa tidak percaya dengan semua yang sudah saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tidak percaya kenapa ada yang bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tidak sedikit teman-teman saya yang menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan Fisika. Sekarang, di mana letak 'UNAS menyenangkan' itu? Bagi saya, hanya ada dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia menempuh jalan pintas...
Jalan pintas itu adalah hal ketiga yang menganggu pikiran saya selama UNAS ini. Sebuah bentuk kecurangan yang tidak pernah saya pahami mengapa bisa terjadi, yaitu joki.
Mengapa saya tidak paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa "Soal UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!", tetapi ketika hari H pelaksanaan... voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci pakai detergen mahal.
Iya langsung bersih cling begitu, toh?
Nyatanya tidak.
Sekalipun dengan 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yang saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari pihak dalam.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya juga bisa membedakan mana jawaban yang mengandalkan dukun dan mana jawaban yang didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tidak akan menetesi lantai rumah jika tidak ada kebocoran di atapnya.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... tiga hal yang saya paparkan di atas sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya.
Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak... saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka... berharap Tuhan membantu.
Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya', lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?
Tidak.
Tentu saja Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya... mungkin Bapak bahkan tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.
.........
.........
.........
Anda akan mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tidak penting, yang penting itu kejujuran.
Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dengan kata-kata Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yang hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa yang menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yang selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak secara tidak langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yang membuat kami, para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh soal yang berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelumnya? Bahwa soal yang di luar kemampuan kami, soal yang luput Bapak sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tidak hanya satu-dua minggu dan Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa membuat kami mengalami mental breakdown yang sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tidak berperikesiswaan itu dalam UNAS, yang notabene adalah penentu kelulusan kami?
Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.
Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa tidak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga sangat besar tidak hanya pada UNAS tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Barangkali sekolah yang salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tak benar. Barangkali kami yang salah, karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran. Barangkali joki-joki itu yang salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu untuk mendapat uang.
Tapi tidak salah jugakah pemerintah? Tidak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tidak salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yang berwenang untuk memastikan bahwa kesempatan untuk berlaku curang itu tidak ada?
Mungkin Bapak tidak akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, "Kita lihat saja hasilnya nanti."
Kemudian sebulan lagi ketika hasil yang keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yang saya sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yang lulus, kepada tim UNAS, kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yang saya yakin sudah berkali-kali mendengar pepatah 'don't judge a book by its cover', akan lupa untuk melihat ke balik kover indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yang Bapak lihat itu adalah hasil kerja para 'ghost writer UNAS'. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa persen dari grafik itu yang mengerjakan dengan jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa Indonesia sudah siap dengan UNAS berstandard Internasional, padahal kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yang sudah siap, bukan kami. Mengerikan bukan, Pak, efek dari tidak terusut tuntasnya joki di negeri ini? Mengerikan bukan, Pak, ketika kebohongan menjelma menjadi kebenaran semu?
Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur sudah menelan pil pahit. Pil pahit karena ketika kami berusaha begitu keras, beberapa teman kami dengan nyamannya tertidur pulas karena sudah mendapat wangsit sebelum ulangan. Pil pahit karena ketika kami masih harus berjuang menjawab beberapa soal di waktu yang semakin sempit, beberapa teman kami membuat keributan dengan santai, sedangkan para pengawas terlalu takut untuk menegur karena sudah ada perjanjian antar sekolah. Pil pahit, karena kami tidak tahu hasil apa yang akan kami terima nanti, apakah kami bisa tersenyum, ataukah harus menangis lagi...
Berhentilah bersembunyi di balik kata-kata, "Saya percaya masih ada yang jujur di generasi muda kita". Ya ampun Pak, kalau hanya itu saya juga percaya. Tetapi masalahnya bukan ada atau tidak ada, melainkan berapa, dan banyakan yang mana? Sebab yang akan Bapak lihat di grafik itu adalah grafik mayoritas. Bagaimana jika mayoritas justru yang tidak jujur, Pak? Cobalah, untuk kali ini saja tanyakan ke dalam hati Bapak, berapa persen siswa yang bisa dijamin jujur dalam UNAS, dibandingkan dengan yang hanya jujur di atas kertas?
(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa bisa menyebabkan negara celaka. Kalau mau membantu mengurangi dosa masyarakat Indonesia, saya punya satu usul efektif. Hapuskan kolom 'saya mengerjakan ujian dengan jujur' dari lembar jawaban UNAS.)
UNAS bukan hal remeh, Pak, sama sekali bukan; terutama ketika hasilnya dijadikan parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga tahun, sekaligus pertimbangan layak tidaknya kami untuk masuk universitas tujuan kami. Jika derajat UNAS diletakkan setinggi itu, mestinya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi pula. Mestinya tak ada cerita tentang soal bocor, bobot tidak merata, dan tingkat kesulitan luput disosialisasikan ke siswa.
Kejujuran itu awalnya sakit, tapi buahnya manis.
Dan saya tahu itu, Pak.
Tapi bukankah Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang?
Bukankah satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu kebenaran pasti akan menang?
Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk menunjukkan pada kami, para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil untuk dilakukan?
Kejujuran itu awalnya sakit, buahnya manis.
Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di wilayah kewenangan Bapak.
Kami yang berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba...
Dari anakmu yang meredam sakit,
Pelajar yang baru saja mengikuti UNAS.

Rabu, 20 Februari 2013

VANIA LARISSA

Diposting oleh yayan nurlian di 09.53 0 komentar

contestants

Vania

Vania Larissa

Kalimantan Barat

17 Tahun

MISS INDONESIA 2013 KALIMANTAN BARAT

Diposting oleh yayan nurlian di 09.50 0 komentar

Kalah atau Menang, Vania Larissa Bakal Lakukan Ini

19 Februari 2013   19:25 WIB • Ainun Fika Muftiarini - Okezone
6DYSZgpaMl.jpg
Vania Larissa (Foto: RCTI)
KOMPETISI Miss Indonesia akan berakhir besok. Tentu saja pengumuman siapa pemenangnya pun membuat cemas para finalis.

Kendati begitu, Vania Larissa, Miss Kalimantan Barat mengaku sudah siap dengan apa pun hasilnya.

"Seandainya menang aku akan improve my self, memperdalam lagi pengetahuan tentang Indonesia karena akan mewakili di ajang Miss World dan ajang itu kan diadakan di Indonesia. Jadi sebagai duta bangsa, harus bisa tahu Indonesia itu bagaimana," katanya kepada Okezone di Hall D2 JI Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (19/2/2013).

"Yang pasti, saya akan membanggakan orangtua dan Provinsi Kalimantan Barat, serta menjalankan tugas dan kewajiban sebagai Miss Indonesia," imbuhnya.

Namun seandainya gagal meraih penghargaan tersebut pun, Vania juga memiliki rencana lain.

"Saya akan support siapa pun yang menang. Aku juga akan melanjutkan edukasi di Amerika," tutupnya.

Selasa, 25 Desember 2012

kutipan surat cinta pak habibie untuk ibunda ainun

Diposting oleh yayan nurlian di 22.26 0 komentar
 
 
 

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu. 
Bukan itu ...
Karena aku tahu bahwa semua yg ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti , dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi.
Aku sangat tahu itu, tapi yg membuatku tersentak sedemikian hebat adalah kenyataan bahwa kematian benar2 dapat memutuskan kebhagiaan diri seseorang, sekejap saja.
Lalu rasany mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yg tiba2 hilang berganti kemarau gersang.
Pada air mata yg jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang.
Pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada.
Aku bukan hendak mengeluh tapi rasany terlalu sebentar kau disini .
Mereka mengira akulah kekasih terbaik bagimu sayang. Tanpa mereka sadari bahwa kaulah yg menjadikan aku kekasih yg baik.
Mana mgkin aku setia pdhal memang kecendrunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan,
kau dari-NYA dan kembali pada-NYA .
Kau dulu tiada untkku, dan skrg kmbli tiada.
Selamat jalan sayang
cahaya mataku, penyejuk jiwaku .

Selamat jalan calon bidadari surgaku

# B.J. HABIBIE
 
 

Jumat, 21 Desember 2012

selamat hari ibu

Diposting oleh yayan nurlian di 14.37 0 komentar
i love you so much MOM..

you're my everything :*

dede sayaaaang Mama'


22 Desember 2012

Selasa, 16 Oktober 2012

ta'aruf

Diposting oleh yayan nurlian di 20.17 0 komentar

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan laki – laki dan perempuan serta menjadikan rasa kasih dan sayang di antara keduanya dan menganugrahkan nikmat pernikahan kepada hamba-Nya, sehingga dengannya hati menjadi tenang. Sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam.
Pernikahan adalah saat yang paling dinanti oleh seorang ikhwan dan akhwat, yaitu mengikrarkan satu ikatan yang halal dalam melaksanakan kewajiban mewujudkan sakinah, mawahdah dan rahmah. Gambaran tentang keluarga bahagia terbentang indah di depan pelupuk mata.
Namun perlu di ingat, pernikahan bukanlah peristiwa sehari yang kemudian begitu saja berlalu. Pernikahan adalah sebuah gerbang dalam pengarungi bahtera rumah tangga. Maka, alangkah bahagianya bila kita bisa menjadi pengantin sepanjang masa.
Kehidupan rumah tangga yang bahagia dimulai dari memilih pasangan hidup yang sholeh dan melalui pintu gerbangnya dengan selamat. Sering kali ikhwan dan akhwat lebih mengutamakan cinta daripada agama pasangannya. Padahal cinta sejati adalah cinta yang tumbuh setelah menikah.
Disinilah penulis mencoba memberikan sedikit gambaran bagaimana proses / perjalanan dua insan dalam mencari cintanya sebagai upaya menyempurnakan dien Allah dan Sunnah Rosulullah.Sebut saja Yusuf adalah seorang ikhwan yang baru saja lulus S1 dan Aisyah seorang akhwat yang masih duduk dibangku kuliah. Pada suatu hari melalui seorang ustad mereka ta’aruf setelah masing – masing melihat biodata yang diajukan pada mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk melanjutkan proses tersebut kejenjang pernikahan dengan melobi orang tua mereka masing – masing.
Dalam perjalanan lobi tersebut Aisyah sukses meyakinkan orang tuanya sehingga diijinkan, sedang Yusuf tidak sukses melobi orang tuanya, sehingga orang tuanya menolak dengan berbagai alasan. Dengan berbagai cara Yusuf mencoba meyakinkan Orang tuanya, hingga pada akhirnya mereka setuju, tapi harus bekerja dulu. Karena merasa syak, maka sesaat itu pula Yusuf menelpon Aisyah sebagai berikut :
“Afwan Ukhti, semoga ini tidak melukai anti dan keluarga anti . Ana pikir sudah saatnya ana memberi keputusan tentang proses kita. Ya…seperti yang anti ketahui bahwa selama ini ana telah berusaha melobi orang tua dengan beragam cara. Mulai dari memahamkan konsep nikah ‘ versi ’ kita, memperkenalkan anti pada mereka hingga melibatkan orang yang paling dipercaya orang tua ana untuk membujuk mereka agar mengizinkan ana untuk menikahi anti. Namun hingga sekarang nggak ada tanda-tanda mereka akan melunak, jadi menurut ana, sebaiknya ana mundur saja dari proses ini ! ” Yusuf diam sejenak untuk menunggu respon dari seberang, tapi hingga beberapa detik tidak ada tanggapan. “ Perlu anti ketahui bahwa orang tua ana sebenarnya sudah tidak keberatan ana menikah dengan anti. Hanya saja timingnya yang belum tepat. Ortu Ana khawatir ana tidak mampu menafkahi anti jika belum bekerja. Apalagi anti juga masih kuliah. Jadi ana rasa, ahsan kita nggak ada komitmen dulu hingga keadaannya membaik! Anti nggak keberatan khan, Ukhti?”
“ Keberatan….? Alhamdulillah nggak ! Namun kalau ana boleh kasih saran, apa tidak lebih baik kalau kita terus melobi sambil tetap proses saja. Soalnya khan kita sudah mantap satu sama lain, nggak enak kalau mundur di saat seperi ini. Apalagi permasalahannya sudah mulai mengerucut ke arah ma’isyah saja. Anta pasti masih ingat gimana sulitnya start awal kita membujuk orang tua, rasanya semua kriteria kita ditolak. Segala keterbatasan kita jadi aib yang sangat besar, pokoknya semua jalan sepertinya sudah tertutup rapat. Namun kenyataannya hanya dalam waktu dua minggu kita bisa mengeliminir semua syarat menjadi satu syarat saja : yaitu PEKERJAAN!” Aisyah, gadis tegar itu akhirnya bicara juga. “Akhi …kita hanya tinggal selangkah, tetaplah berikhtiar dan jangan putus asa. Bukankah Allah Maha membolak-balikkan hati?”
“Benar, ana paham soal itu, ana memang akan tetap melobi orang tua ana, akan tetapi kalau kita terikat, ana khawatir menghalangi Anti proses dengan ikhwan lain yang lebih kaffaah dari ana. Lagi pula ana khawatir tidak bisa menjaga hati.”
“Takut menghalangi ana untuk proses dengan ikhwan lain? Itu khan urusan Allah bukan urusan anta! Kewajiban anta sekarang adalah berjuang mempertahankan sesuatu yang anta sudah mantap dengannya. Hasil istikharah itu nggak mungkin salah. Tinggal bagaimana cara kita mengaplikasikannya saja.” Hening sejenak…
” Ya…tapi kalau memang akhi sudah merasa syak terhadap ana dan mantap untuk mundur, alhamdulillah. Insyaallah ana akan dukung sepenuhnya.”
“Nggak!” Reflek Yusuf berteriak. “Astaghfirullah al-‘adzim, afwan maksud ana, Ana – sama dengan keluarga ana – sudah tidak ada syak pada anti. Kami sangat menyukai anti dan keluarga anti. Selain itu ana juga takut perasaan ini semakin dalam. Ana ini hanya hamba yang dhoif yang masih kesulitan mengekang hawa nafsu.” Yusuf berhenti lagi, dadanya terasa sesak, air matanya mengalir semakin deras. Jauh di dalam hatinya, sesungguhnya ia merasa malu pada Allah atas kelalaiannya. Jatuh cinta…!
“Hallo…!!” Aisyah merasa Yusuf diam terlalu lama. Dia tidak tahu kalau pemuda itu sedang menangis. Tapi dia mengerti apa yang sedang terjadi padanya. “Ya udah…kalau begitu sekarang kita sepakat untuk membatalkan proses ini!! Setelah ini Insyaallah kita tidak akan lagi berhubungan kecuali untuk keperluan syar’i yang sangat darurat, iya kan?” Aisyah sengaja memberi jeda agar Yusuf bicara, tapi ikhwan itu memilih terus diam.
“Akh…kita tetap baik ya! Silaturahmi dengan keluarga harus tetap dijaga, jangan suudzon pada ayah dan bunda anta karena bisa jadi keputusan mereka adalah salah satu jalan Allah untuk menguji kita.” Aisyah berhenti lagi tapi Yusuf masih enggan berkomentar. “La tahzan, ya Akhi … Insyaallah kalau kita niatkan semuanya demi keridhaan Allah, maka Dia akan mencatat bagi kita pahala yang besar. Afwan jika selama proses ta’aruf ini…Ana, teman – teman dan keluarga ana banyak melakukan kekhilafan . Ana mewakili mereka dan diri ana sendiri untuk memohon maaf pada anta. Bersabarlah karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar…” Samar, Aisyah mendengar isak tangis di seberang. Dia nyaris tidak percaya…!
“Semoga ini bisa menjadi mahar cinta kita pada Allah dan semoga akhi mendapat ganti yang lebih baik…Amin.” Suara isak tangis makin terdengar jelas.
“Akhi…kalau sudah nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, tafadhol diakhiri!”… Tidak ada tanggapan.
“Hallo…!!?. Ya udah, kalau gitu biar ana yang tutup telponnya, ya…?” Sepi. “Assalamualikum!” Klik. Percakapan di antara mereka berakhir, tapi Yusuf baru menyadarinya. Dia segera bergegas mengambil air wudhu dan shalat. Jujur, sebenarnya dia sudah sangat mantap dengan mantan calon istrinya itu…Namun dia tidak yakin dapat membahagiakan akhwat itu kalau dirinya belum bisa menafkahi dengan layak. Padahal Aisyah dan keluarganya tidak mempermasalahkan tentang hal itu. Mereka sangat welcome padanya. Ah…mungkin ini sudah takdirnya. Mungkin Allah melihat bahwa akhwat itu terlalu baik untuk dirinya. Mungkin seharusnya akhwat sekaliber dia, mendapatkan ikhwan yang jauh lebih baik dari dirinya. Dia benar-benar merasa tidak level !!
“Ya… ikhwan lemah sepertiku, mana mungkin mendapatkan seorang Aisyah. Populer tapi tetap rendah hati, tegar, bijaksana, wara’ , zuhud … Pokoknya semua sifat baik ada padanya. Sedangkan aku…Naudzubillah mindzalik, semoga aku nggak akan menyakiti akhwat lain setelah ini. Astaghfirullah al-‘azhim…apa yang telah kusombongkan selama ini? sudah ikut Mulazamah bertahun-tahun tapi masih belum berani mengamalkan ilmu yang didapat sedikit pun. Katanya percaya bahwa orang yang menikah pasti akan dijamin rizqinya oleh Allah, ternyata aku tidak lebih hanya seorang ikhwan yang pengecut.” Yusuf tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Dia benar-benar merasa tak berarti. “Dulu..,aku pernah begitu khusyu’ berdoa pada Allah agar dipertemukan dengan akhwat salihah yang tidak banyak permintaan seperti dia. Sekarang ketika sudah dapat, malah kusia-siakan. Kini aku sadar bahwa Allah selalu mengabulkan permohonan hamba-Nya. Manusialah yang selalu kufur pada Rabb-nya.”
-000-
Di tempat yang berbeda, Aisyah menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Dia tetap ceria seperti biasanya. Ya…seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Kecewa jelas ada, karena Aisyah juga hanya manusia biasa. Namun dia bisa mengemas kekecewaannya dengan manis, membuat kesedihannya menjadi sesuatu yang lumrah dari proses kehidupan. Dia percaya bahwa hatinya tidak mungkin berbohong dan janji Allah pasti terjadi. Maka sesulit apa pun kondisi yang dihadapinya saat itu, dia mencoba untuk tetap tersenyum. Jujur, aku bangga padanya. “Aku sudah mantap dengannya. Aku yakin dialah jodohku. Aku akan terus menunggunya…”
-000-

Sepekan kemudian, Yusuf menitipkan biodata ikhwan lain yang merupakan teman dekatnya untuk diberikan pada Aisyah. Menurutnya ikhwan itu bisa membahagiakan Aisyah karena sudah matang dan punya pekerjaan tetap. Jelas, aku tahu bahwa pendapatnya keliru. Aisyah bukan mengharap ikhwan yang matang dan mapan. Dia hanya mengikuti kata hatinya saja. Diriku tidak akan bahagia hanya dengan harta dan tahta. Namun, tak urung kuterima juga biodata itu. Dan bisa ditebak, bagaimana reaksi Aisyah saat kuberikan empat lembar kertas berukuran A4 itu. Aisyah menggeleng pasti.
“Anti coba istikharah dulu. Barangkali semuanya bisa berubah..” bujukku.
“Jazaakumullah khoir , tapi… afwan tolong jangan paksa ana!”
-000-
Ikhwah fillah , mungkin sebagian Anda akan menganggap Yusuf sebagaimana penilaian Yusuf terhadap dirinya sendiri. Pengecut, munafik, jahil dan sifat-sifat buruk yang lainnya. Tapi bagi saya, Yusuf tidaklah seburuk itu. Justru sebaliknya, Yusuf dalam pandangan saya adalah ikhwan yang hanif . Dia berani mengambil risiko dengan mundur dari proses dan memilih untuk bersabar melawan nafsunya. Padahal kalau dia mau, dengan sikap Aisyah yang penurut, dia bisa saja minta untuk tetap meneruskan hubungan dengan gadis pilihannya itu. Namun dia tahu bahwa di atas segalanya, Allahlah yang patut untuk lebih dicintai.
Yusuf yakin bahwa jodoh adalah kekuasaan Allah dan Dia telah menetapkannya lima puluh ribu tahun sebelum semesta ada. Dia tahu kalau jodoh pasti akan ketemu lagi, bagaimanapun caranya. Mungkin Aisyah tidak akan pernah tahu kalau biodata yang kusodorkan kemarin adalah kiriman Yusuf. Mungkin Yusuf juga tidak akan pernah tahu kalau ternyata Aisyah akan terus menunggunya. Dan mereka juga tidak boleh tahu bahwa diam-diam aku selalu mendoakan kebaikan untuk mereka. Entah bagaimana ending kisah ini nantinya, yang pasti aku selalu berharap agar masing – masing dari mereka mendapatkan ganti yang lebih baik. Segera…
-000-
Begitulah gambaran suatu proses ta’aruf, dan ingatlah bahwa sesungguhnya Allah hendak menguji hamba – hambaNya yang beriman dengan berbagai cara dan kita tidak tahu dibalik ujian itu ada hikmah yang tersembunyi. Dan ingatlah sesungguhnya kita telah mempunyai jodoh lima puluh ribu tahun sebelum kita diciptakan, ikhtiar dan memohon petunjukNya adalah jalan yang terbaik.
La Tahzan jika dalam beberapa proses kita belum sukses…karena sesungguhnya melalui beberapa proses itu Allah hendak mendewasakanmu dan mematangkan dirimu, sehingga ketika kau menemui suamimu kau akan benar – benar siap.
Demikian segelintir kisah dari berbagai proses ta’aruf, dan sesungguh masih banyak kisah – kisah lain yang mampu meneguhkan hati. Sebab, justru dari berbagai masalah yang mengiringi ta’aruf inilah pernikahan akan menjadi indah dan menguatkan hati kedua mempelai.
- Untuk semua ikhwah yang sedang menunggu, sabar ya…
- Untuk semua akhwat jadilah seperti Aisyah yang tegar dan sabar…
- Dan kepada engkau wahai Ikhwan dan akhwat yang secara tidak sengaja mempunyai kisah / mengalami kejadian yang sama, bersabarlah,…jadilah seperti mereka yang mampu saling memaafkan, bahkan mereka bersedia menjadi perantara untuk ta’aruf dengan ikhwan atau akhwat yang lain. Bukanlah akhlaq seorang muslim, bila dia gagal berta’aruf maka dia membenci ikhwan/akhwat yang ta’aruf dengannya. Wallahu a’lam.
( Tebet, 10 Juli 2012 )
M. Sirais Rosyid

Sabtu, 14 April 2012

lukisan-MU

Diposting oleh yayan nurlian di 08.24 0 komentar
Bila kerikil pantai,
telah berubah menjadi permata. .

Mungkin lautan tak lagi bimbang,bahkan teriak mesra..
menerawang jauh d atas dermaga samudra. .
Mendongengkan sayup-sayup sang bayu siang. .
Terbuai dalam cerita cinta burung bAngau. .
Yang asyik brmain mesra d atas gelombang. .

Sementara . .
Laba-laba kecil merajut jaring-jaring sutranya. .
Melilit pohon cemara. .
Beruntai-untai. . .Lalu ia jatuh ke tanah. .
Sementara itu juga semut kecil. .
Mondar- mandir. .
Bagai kucing kehilangan ekornya. .

Sibuk mencari secuil makanan,


Kupandangi kembali pantaiku..
Gelombang pasangnya membentuk sudut-sudut fatamorgana.
melukis keindahan yang absurd

tapi dapat ku nikmati...

Nuansa damai & tentram
Sangat indah ku lihat.,
memberikan ketenangan untuk setiap insan yang melihatnya,
Terima kasih Ya ALLAH

masih mengizinkanku, menikmati lukisan indah-Mu


Aku. .Ada Di sini.